Kamis, 08 November 2012

Berita MTsN Durian Tarung Padang

MTsN Durian Tarung Padang Cetuskan 

Madrasah Berkarakter Qur’ani


Terbit di Majalah PAB Kanwil Sumbar

Edisi Nopember 2012

Madrasah sebagai sekolah umum berciri agama mesti tampil terdepan dalam melaksanakan pendidikan karakter. Dalam pandangan Islam, sumber utama dari karakter itu adalah al-Qur’an. Bahkan ketika sahabat bertanya bagaimanakan akhlak Rasulullah itu, A’isyah menjawab bahwa akhlak Nabi Muhammad SAW adalah al-Qur’an.
Sadar akan pentingnya al-Qur’an sebagai rujukan utama dalam pengembangan pendidikan karakter, MTsN Durian Tarung Padang merumuskan visi: “Unggul dalam Prestasi, Berkarakter Qur’ani, dan Berbudaya Lingkungan”.
Berangkat dari visi itu, madrasah ini memiliki motto: Berkarakter Qur’ani. “Setiap umat Islam pasti meyakini bahwa al-Qur’an sebagai pedoman hidup yang akan menjamin keselamatan dunia dan akhirat, sebagaimana yang dijanjikan Nabi kita. Karena itu, motto Berkarakter Qurani diharapkan bisa memberi kekuatan positif bagi warga madrasah agar memiliki kepribadian dan karakter yang sesuai dengan nilai-nilai al-Qur’an”, jelas kepala MTsN Durian Tarung Padang, Dra. Rifdawati, M.Pd.
Untuk mewujudkan visi di atas, MTsN Durian Tarung Padang melakukan berbagai pembinaan, di antaranya: semua siswa harus melaksanakan shalat dhuha ketika jam istirahat, shalat zhuhur dan ashar berjamaah. Shalat ini dilaksanakan di Masjid Raya Durian Tarung yang letaknya persis di belakang madrasah.
Kemudian, di setiap pergantian jam pelajaran, setiap guru membuka pelajaran dengan membaca beberapa ayat al-Qur’an dari juz ‘Amma. Di samping itu, mata pelajaran muatan lokal yang diterapkan adalah Tahfizh al-Qur’an. Dengan upaya ini diharapkan selama 3 tahun belajar, lulusan MTsN Durian Tarung Padang minimal hafal juz ‘Amma.
“Namun program ini baru dijalankan selama setahun terakhir. Butuh kerja keras, kebersamaan dann keteladanan warga madrasah, terutama guru-guru untuk mendukung dan melaksanakan program ini sehingga visi misi madrasah dapat terwujud”, tegas Dra. Rifdawati, M.Pd.

Kunjungan Kepala Kankemenag Kota Padang
Visi madrasah ini tampaknya juga menjadi perhatian Kepala Kantor Kementerian Agama Kota Padang, Drs. H. Yetrizal Khatib, saat bertindak sebagai pembina upacara di MTsN Durian Tarung Kota Padang pada senin, 8 Oktober lalu. Apalagi dalam kegiatan upacara tersebut, dua orang siswa secara bergantian membaca pembukaan UUD RI 1945 dan visi misi madrasah tanpa melihat teks.
Karena itu, dalam amanatnya, Drs. H. Yetrizal Khatib mengingatkan pada semua siswa, guru dan karyawan madrasah agar komitmen untuk mewujudkan visi misi tersebut. Jika tidak, maka visi misi ini hanya sekedar tulisan dan lisan saja.
Menurutnya, kita patut bersyukur kepada Allah SWT dapat mengenyam pendidikan dan bertugas di madrasah. Sebab di madrasah, kita tidak saja memperoleh ilmu duniawi, tetapi juga ilmu agama bekal di akhirat nanti. Karena itu, sebagai bagian dari madrasah, kepribadian kita harus mencerminkan perilaku yang berkakhlakul karimah sesuai tuntunan al-Qur’an.
Banyak pelajaran berhikmah yang ia sampaikan dalam amanatnya. Di antaranya, ia berpesan pada seluruh siswa agar bersungguh-sungguh belajar sebagai salah satu bentuk berbakti kepada orang tua. “Setetes air mata ibu menangis lantaran kecewa atau sakit hati terhadap perilaku anaknya, maka air mata itu akan mengobarkan api neraka. Sebaliknya, setetes air mata ibu karena haru dan bangga atas anaknya, maka tetesan air mata itu akan memadamkan kobaran api nereka. Karena itu jadilah anak yang menjadi cahaya mata”, nasehatnya.
“Sangat tidak pantas, seorang siswa madrasah: shalat tidak, membaca al-Qur’an tidak, etika tidak, karakter tidak, menjadi anak yang durhaka pada guru, tidak punya kasih sayang pada orang tua, itu bukanlah hadir dari madrasah ini”, tegasnya.
Usai pelaksanaan upacara bendera, Drs. H. Yetrizal Khatib juga menyempatkan diri untuk memberi arahan dan motivasi bagi guru dan karyawan madrasah untuk meningkatkan kinerjanya dalam menjalankan tugas.
Ia meminta, agar guru dan karyawan senantiasa ikhlas dan tawadhu’ dalam menjalankan tugas. Dengan modal itu, maka ukhuwan akan tetap terjaga dan kinerja akan tetap berkualitas. Jangan pernah sombong atas segala apa yang telah dimiliki.
Terakhir, Kepala Kankemenag Kota Padang ini berpesan agar visi misi madrasah MTsN Durian Tarung Padang dapat diwujudkan dengan keterlibatan seluruh warga madrasah. “Pendidikan berkarakter Qur’ani itu jangan hanya diserahkan kepada guru PAI saja, sebab jika terjadi kasus yang melanggar moral, yang disebut-sebut orang bukan guru agama, melainkan nama madrasah itu sendiri yang disoroti orang. Jadi semua guru mesti bertanggung jawab” pintanya.

Kontributor: Humas, Muhammad Kosim, MA

Rabu, 02 Mei 2012


Kepala MTsN Durian Tarung Padang, Dra. Rifdawati, M.Pd, menandatangani surat serah terima ketua OSIS MTsN Durian Tarung Padang dari Arif Hakimin (Ketua OSIS Periode 2010-2011) kepada Eko Kurnia Azwir (Ketua OSIS Periode 2011-2012)

Serah Terima Pengurus OSIS


Serah Terima Ketua OSIS dari Rahmat Hakimin (Ketua OSIS TP. 2010-2011) kepada Eko Kurniawan Azwir (Ketua OSIS Terpilih TP. 2011-2012)


Pekarangan Green House MTsN Durian Tarung Padang, terlihat AYAH sedang membuat logo di dinding Madrasah.

Selasa, 01 Mei 2012

Pembelajaran Fiqh


Jannatul Sadri, Siswa Kelas VII MTsN Durian Tarung Padang, bertindak sebagai imam dalam Praktik Shalat Jenazah di Masjid Raya Durian Tarung Padang....

Pembelajaran Fiqh


PRAKTIK SHALAT JUMAT
 
Deli Saputra, siswa kelas VII-1 MTsN Durian Tarung Padang bertindak sebagai Khatib dalam Praktik Shalat Jumat pada Mata Pelajaran Fiqh di Masjid Raya Durian Tarung Padang, di bawah bimbing Ust. Muhammad Kosim, MA. Sementara siswa perempuan menyaksikan di shaf belakang...

Pendidikan Kita, Mencerdaskankah?

(Refleksi Hardiknas, 2 Mei)

Oleh: Muhammad Kosim

Setiap tanggal 2 Mei, bangsa Indonesia memperingati hari pendidikan nasional (Hardiknas). Hari ini menjadi momen penting bagi kita untuk menelaah perkembangan pendidikan yang diberlakukan, apakah sudah sesuai dengan cita-cita bersama dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagaimana yang ditegaskan dalam UU Sisdiknas Tahun 2003.

Manusia cerdas bukanlah pintar secara kognitif semata, tetapi sikap dan perbuatannya juga mencerminkan perilaku yang benar dan bertanggung jawab. Orang cerdas adalah orang yang berpikir jangka panjang, tidak sesaat, berorientasi masa depan, bahkan sadar akan hakikatnya sebagai makhluk Tuhan yang kelak mempertanggungjawabkan segala perilakunya. Kecerdasan seperti inilah yang mampu membentuk wajah bangsa yang berkeadaban melalui proses pendidikan.
Namun, sudahkah pendidikan yang diterapkan di negeri ini mampu mencerdaskan kehidupan bangsa?

Beragam kasus yang tidak mencerminkan manusia berpendidikan justru menjamur di negeri ini. Korupsi, kolusi, nepotisme, pornografi/aksi, kekerasan, mafia hukum, serta saling memaki dan menyalahkan saban hari disuguhkan di media.  Ironisnya para pelakunya justru orang-orang yang pernah mengenyam pendidikan, bahkan hingga pendidikan tinggi. Mereka “pintar”, tetapi kepintarannya dimanfaatkan untuk menipu, mencuri, lalu merekayasa kebenaran untuk kepentingan pribadi dan golongan.

Kita tidak dapat memungkiri bahwa tidak semua out put pendidikan kita berperilaku negatif. Akan tetapi, fenomena di atas demikian nyata dalam kehidupan kita sehingga patut mempertanyakan pelaksanaan pendidikan nasional, apakah mencerdaskan atau justru hanya membuat orang pintar.

Akibatnya, pendidikan kehilangan spirit-nya dalam mencerdaskan dan memerdekakan umat lalu berubah menjadi pendidikan yang membelenggu hati nurani manusia dengan rantai-rantai keserakahan, pragmatisme, materialisme, hedonisme, dan nafsu syahwat akan kenikmatan sesaat.
Apa yang salah pada praktik pendidikan kita? Setidaknya ada dua hal yang patut dikritisi terhadap pelaksanaan pendidikan di negeri ini. Pertama, orientasi pendidikan yang lebih menekankan pada aspek kognitif. Secara teoritis, setiap proses pembelajaran yang dilakukan mesti memperhatikan aspek kognitif, apektif, dan psikomotor peserta didik.

Namun kenyataannya, ranah kognitif selalu mendapat porsi yang lebih besar dibandingkan dengan ranah yang lain. Akibatnya, peserta didik hanya memiliki kompetensi “tahu” (knowledge), tetapi tidak berdampak kepada sikap dan perbuatannya.

Orientasi pendidikan terhadap kognisi yang tidak seimbang ini juga dapat dilihat dari kebijakan Ujian Nasional yang banyak menimbulkan korban. Meskipun telah ditetapkan penentu kelulusan siswa ada empat kriteria (berakhlak mulia, tuntas seluruh program semester, lulus ujian sekolah, dan lulus UN), akan tetapi dalam kenyataannya hasil UN menjadi penghalang banyaknya siswa yang tidak lulus.
Sistem UN yang menyamakan sekolah elit berfasilitas mewah, memiliki guru yang professional, mendapat pembinaan berkelanjutan, dengan sekolah marginal/pinggiran yang terisolir, jumlah guru yang memprihatinkan dan nyaris tidak tersentuh dengan pembinaan, sesungguhnya telah mengusik rasa keadilan.

Akibatnya, ada yang nekat menggadaikan idealisme dengan melakukan kecurangan. Parahnya lagi, kecurangan itu justru diorganisir oleh oknum guru demi memperjuangkan nama baik sekolah atau pimpinan semata. Semua seakan menutup mata terhadap persoalan yang setiap tahun menjadi berita media, tapi hilang begitu saja.

Praktik seperti ini pasti berdampak besar di kemudian hari, berbekas pada kepribadian anak didik untuk berlaku curang dan menghalalkan segala cara demi mencapai keinginannya. Seakan mereka di ajarkan, “jangan berlaku curang, kecuali dalam keadaan terpaksa”.

Kedua, pendidikan yang masih bercorak sekuler-materialistik. Sekularisme pendidikan tampak dari ketidakseimbangan antara kompetensi setiap mata pelajaran yang ditawarkan dengan sikap keberagamaan sesuai dengan keyakinannya. Meskipun setiap sekolah memiliki visi dan misi yang bercorak religius, seperti adanya kata-kata iman dan taqwa (Imtaq), akan tetapi program dan kegiatan Imtaq di sekolah tersebut seringkali tidak kongkrit sehingga Imtaq hanya sekedar cover atau polesan semata.

Begitu pula tanggungjawab guru terhadap sikap keberagamaan siswa, kerapkali diserahkan kepada guru agama an sich. Padahal setiap ilmu yang diajarkan sarat dengan nuansa ukhrawi sehingga ilmu yang diperoleh peserta didik sejatinya mendekatkan dirinya kepada Sang Khaliq.

Akibat dari sekulerisme pendidikan akan menimbulkan pula sikap materialisme yang berlebihan. Motivasi peserta didik untuk menuntut ilmu lebih didominasi oleh materi sehingga ketika mereka terjun ke dunia kerja, materi pun menjadi tujuan utama. Nilai-nilai kemanusiaan pun dikalahkan oleh materi, termasuk nilai-nilai agama. Korupsi, kolusi, nepotisme, dan bentuk manipulasi lainnya tentu menjadi pilihan.

Oleh karena itu, pendidikan yang diterapkan telah membelenggu hakikat manusia itu sendiri. Sebab manusia adalah makhluk yang memiliki potensi ruhaniyah di samping potensi aqliyah dan jasmaniyah.

Ketika pendidikan yang dikembangkan lebih berorientasi kepada kognitif (aqliyah) maka dimensi ruhaniyahnya akan terbelenggu. Begitu pula dimensi fitrah keberagamaannya telah digeser oleh paham materialisme dan sekulerisme yang dianutnya.

Menyikapi persoalan tersebut, dituntut keberanian bangsa ini untuk melepas rantai-rantai yang membelenggu kebebasan manusia itu sendiri sehingga memiliki kecerdasan yang sesungguhnya. Pelaksanaan pendidikan mesti didesain sedemikian rupa untuk memerdekakan pendidikan dari rantai-rantai yang membelenggunya.

Dalam hal ini ada beberapa hal yang patut direkomendasikan. Pertama, pertegas kembali orientasi pendidikan nasional dengan landasan filosofis yang utuh tentang hakikat manusia. Artinya, manusia yang menjadi subjek sekaligus objek pendidikan, mesti dipandang secara utuh, bukan sekedar aspek akalnya, tetapi ia juga memiliki dimensi ruhaniyah yang sangat menentukan perilakunya dalam menggunakan ilmu yang dimiliki. Tegasnya, pendidikan mesti melahirkan kualitas insan yang memiliki iman, ilmu, dan amal secara integral dan holistik.

Kedua, mendidik dengan hati (qalbiyah approach). Para pelaku pendidikan harus melaksanakan tugasnya dengan melibatkan dan mengaktifkan potensi qalbiyah (hati). Seorang pendidik, misalnya menerapkan pendekatan qalbiyah untuk menyentuh hati peserta didik sehingga ilmu yang diajarkan tetap sejalan dengan hati nuraninya yang sarat dengan nilai-nilai insaniyyah (kemanusiaan) dan ilhahiyyah (ketuhanan).

Ketiga, menerapkan pendidikan berbasis tauhid (nondikotomik). Paradigma ilmu yang dikembangkan, baik di sekolah maupun perguruan tinggi, mesti dikembangkan dengan basis tauhid. Maksudnya, semua ilmu mesti diyakini berasal dari Tuhan Yang Maha Esa, Allah SWT. Dengan begitu, setiap ilmu yang dikuasai oleh peserta didik akan mengantarkannya kepada kedekatan (taqarrub) kepada-Nya. Dalam hal ini, semua guru mesti memiliki rasa tanggungjawab mendidik sikap keberagamaan peserta didik sesuai dengan keyakinannya masing-masing.

Keempat, menerapkan pelaksanaan pendidikan dengan prinsip keadilan. Adil memang tidak harus sama rata, akan tetapi proporsional dan profesional. Pendidikan bukanlah milik kaum ningrat atau yang kaya dan ber-IQ tinggi saja, akan tetapi kaum miskin pun memperoleh hak yang sama. Konsekuensinya, guru-guru di sekolah ‘pinggiran’ mesti mendapat perhatian dan pembinaan yang lebih dibandingkan sekolah-sekolah yang elit.

Dengan begitu sekolah bukanlah memintarkan orang-orang yang sudah pintar lagi hidup mewah, akan tetapi mencerdasan orang-orang yang bodoh, miskin menjadi sejahtera, jahat menjadi baik, hina menjadi mulia, terbelakang menjadi maju dan berperadaban.

Kelima, pemerintah harus menyerahkan pengelolaan pendidikan kepada yang ahlinya; berjiwa visioner, punya idealisme, paham dan bepengalaman tentang pendidikan, antikorupsi, antikecurangan, dan berorientasi pada pendidikan yang mencerdaskan. Jika ingin memajukan pendidikan yang mencerdaskan, penguasa sejatinya tidak melakukan “pendekatan politik” dalam pengelolaan pendidikan.

Pendekatan politik yang dimaksud adalah menjadikan jabatan struktural dalam pendidikan sebagai jabatan politik. Tidak sedikit kasus yang menunjukkan penguasa bongkar-pasang kepala dinas hingga kepala sekolah berdasarkan kepentingan politik; pribadi atau golongan sang penguasa. Bahkan ada pula sekolah yang dalam dua tahun dipimpin oleh 2-4 kepala sekolah.

Bisa saja pengelolaan pendidikan dilakukan dengan pendekatan politik, tapi mengarahkan pendidikan kepada tujuan yang ideal, bukan justru menjadikannya sebagai alat kekuasaan. Ketika pendidikan diperlakukan sebagai alat kekuasaan, maka bangsa ini akan tetap terpuruk dan terbelakang. Sebab, tak satu pun bangsa yang maju di dunia tanpa pendidikan yang berkualitas.

Dengan upaya seperti ini diharapkan kita mampu membenahi system pendidikan nasional dalam mencerdaskan dan memerdekakan manusia dari belenggu nafsu keserakahan, kebodohan, kemiskinan, dan kemunafikan. Peringatan Hari Pendidikan Nasional di tahun 2012 ini sejatinya menjadi renungan bagi kita untuk mengaca diri, berbenah dan meraih prestasi. Semoga saja.




Siswa MTsN Durian Tarung Padang gotong royong membuat biopori di halaman depan Madrasah pada peringatan Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei 2012

Tim Pembibitan memberikan perawatan pada bibit bunga dan pohon yang disediakan di pojok kanan halaman Madrasah.

Foto


 Ketua Tim Teknis Adiwiyata MTs N Durian Tarung Padang, Hendrawati, S.Pd., mensosialisasikan cara pemilahan sampah organik dan an-organik di hadapan seluruh warga madrasah, sesudah Upacara Hardiknas, 2 Mei 2012

Logo dan Makna Filosofisnya


Lambang MTsN Durian Tarung Padang, terdiri dari lima unsur simbol, yaitu:1.    “Berkarakter Qur’ani” sebagai motto madrasah
2.    Kitab al-Qur’an yang terbuka
3.    Kubah masjid berwarna kuning dengan bintang lima di puncaknya
4.    Rumah adat Minangkabau atau rumah bagonjong empat.
5.    Ranting yang berdaun enam yang diikat dengan lima simpulan.
6.    Pita kuning bertuliskan “MTsN Durian Tarung”

Pengertian Dari Sudut Bentuk:

Kitab al-Qur’an:   
Al-Qur’an sebagai pedoman hidup dan warga madrasah berupaya memiliki kepribadian yang berkarakter Qurani.

Kubah Masjid:   
Memakmurkan masjid dan membiasakan diri melakukan ibadah baik fardhu maupun sunnah dan menjalin ukhuwah.

Bulan Sabid dan Bintang Lima:    
Agama Islam sebagai agama yang paling tinggi, dan bintang lima melambangkan rukun Islam ada lima.

Rumah bagonjong empat:      
Tau Jo Nan Ampek, seperti kato nan ampek (kato mandaki, mandata, malereng, dan menurun), mazhab nan ampek (Mazhab Syafi’i, Hambali, Maliki, Hanafi), khalifah nan ampek (Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib), Sifat Nabi nan Ampek (Shiddiq, Amanah, Tabligh, dan Fathanah), dan lain-lain.

Daun enam helai:     
Rukun iman yang enam

Ranting yang berdaun:    
Madrasah berbudaya lingkungan atau peduli terhadap lingkungan yang asri, indah, bersih, nyaman dan aman.

Lima simpul pengikat ranting:     
Misi madrasah ada lima dan menjadi satu kesatuan yang diikat untuk mencapai satu visi.

Garis lingkaran hitam:     
Batas pengontrol dan pengendali dalam setiap bertindak dengan filosofi Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah. Filosofi ABS-SBK tersebut tergambar dalam keseluruhan lambang, terutama rumah bagonjong, masjid dan al-Qur’an.

Pita bunga:     
Lembaga MTsN Durian Tarung Padang

Kalimat Berkarakter Qurani:  
Motto madrasah dan kata kunci dari visi madrasah.

Pengertian dari Sudut Warna:

1.    Putih:     Kesucian, santri keagamaan
2.    Hitam:    Kearifan dan kebijaksanaan
3.    Kuning:    Keagungan dan cita-cita mencapai masa keemasan
4.    Hijau:    Berbudaya lingkungan.

Visi Misi MTsN Durian Tarung Padang

VISI:
”Unggul dalam prestasi, Berkarakter Qur’ani, dan Berbudaya Lingkungan”

Indikator:
Unggul dalam Prestasi:
1.    Meraih prestasi di bidang akademik;
2.    Meraih prestasi di bidang non-akademik.

Berkarakter Qur’ani:
1.    Integrasi Imtaq-Iptek dalam PBM;
2.    Taat/rajin beribadah baik fardhu maupun sunat;
3.    Berakhlak mulia baik dalam berhubungan dengan Allah (hablun minallah), diri sendiri (hablun minannafs) sesama manusia (hablun minannas), dan lingkungan sekitar (hablun minal ‘alam).
4.    Gemar membaca al-Qur’an dan hafal minimal juz 30;
5.    Menjadi teladan bagi sesama.


Berbudaya Lingkungan:
1.    Peduli terhadap keindahan dan kelestarian lingkungan;
2.    Menerapkan pembelajaran yang berorientasi kepada multikecerdasan, baik intelektual, emosional, spiritual, kinestetik, maupun religius;


MISI:
1.    Menerapkan kurikulum bercorak integrasi imtak-iptek dan berbudaya lingkungan;
2.    Mewujudkan siswa yang religius dan memiliki kecerdasan intelektual, emosional, spiritual, dan kinestetik;
3.    Menerapkan proses pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan berbasis al-Qur’an dan berbudaya Minangkabau;
4.    Mewujudkan pendidik dan tenaga kependidikan yang profesional, penuh kasih sayang, dan menjadi teladan;
5.    Mewujudkan warga madrasah yang sadar dan peduli terhadap lingkungan yang asri, indah, nyaman, dan aman.

TUJUAN:
1.    Mampu menyusun dan menerapkan kurikulum bercorak integrasi imtak-iptek dan berbudaya lingkungan;
2.    Mampu mewujudkan proses pembelajaran yang PAIKEM, berbasis al-Qur’an, berbudaya Minangkabau dan peduli lingkungan;
3.    Mampu menjalin kerjasama antara pengelola madrasah, orang tua siswa, instansi pemerintah, dan masyarakat untuk meraih berbagai prestasi.
4.    Mampu memberikan pelayanan yang memuaskan terhadap warga madrasah;
5.    Mampu membiasakan warga madrasah untuk melakukan ibadah fardhu dan sunnat, gemar membaca dan menghafal al-Qur’an serta mengamalkannya;
6.    Mampu mewujudkan pendidik dan tenaga kependidikan yang profesional, penuh kasih sayang, jadi teladan dan berdedikasi tinggi;
7.    Mampu melakukan penghijauan, pengelolaan dan pemanfaatan sampah, kerapian, keindahan serta kenyamanan di lingkungan madrasah.