Selasa, 01 Mei 2012

Pendidikan Kita, Mencerdaskankah?

(Refleksi Hardiknas, 2 Mei)

Oleh: Muhammad Kosim

Setiap tanggal 2 Mei, bangsa Indonesia memperingati hari pendidikan nasional (Hardiknas). Hari ini menjadi momen penting bagi kita untuk menelaah perkembangan pendidikan yang diberlakukan, apakah sudah sesuai dengan cita-cita bersama dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagaimana yang ditegaskan dalam UU Sisdiknas Tahun 2003.

Manusia cerdas bukanlah pintar secara kognitif semata, tetapi sikap dan perbuatannya juga mencerminkan perilaku yang benar dan bertanggung jawab. Orang cerdas adalah orang yang berpikir jangka panjang, tidak sesaat, berorientasi masa depan, bahkan sadar akan hakikatnya sebagai makhluk Tuhan yang kelak mempertanggungjawabkan segala perilakunya. Kecerdasan seperti inilah yang mampu membentuk wajah bangsa yang berkeadaban melalui proses pendidikan.
Namun, sudahkah pendidikan yang diterapkan di negeri ini mampu mencerdaskan kehidupan bangsa?

Beragam kasus yang tidak mencerminkan manusia berpendidikan justru menjamur di negeri ini. Korupsi, kolusi, nepotisme, pornografi/aksi, kekerasan, mafia hukum, serta saling memaki dan menyalahkan saban hari disuguhkan di media.  Ironisnya para pelakunya justru orang-orang yang pernah mengenyam pendidikan, bahkan hingga pendidikan tinggi. Mereka “pintar”, tetapi kepintarannya dimanfaatkan untuk menipu, mencuri, lalu merekayasa kebenaran untuk kepentingan pribadi dan golongan.

Kita tidak dapat memungkiri bahwa tidak semua out put pendidikan kita berperilaku negatif. Akan tetapi, fenomena di atas demikian nyata dalam kehidupan kita sehingga patut mempertanyakan pelaksanaan pendidikan nasional, apakah mencerdaskan atau justru hanya membuat orang pintar.

Akibatnya, pendidikan kehilangan spirit-nya dalam mencerdaskan dan memerdekakan umat lalu berubah menjadi pendidikan yang membelenggu hati nurani manusia dengan rantai-rantai keserakahan, pragmatisme, materialisme, hedonisme, dan nafsu syahwat akan kenikmatan sesaat.
Apa yang salah pada praktik pendidikan kita? Setidaknya ada dua hal yang patut dikritisi terhadap pelaksanaan pendidikan di negeri ini. Pertama, orientasi pendidikan yang lebih menekankan pada aspek kognitif. Secara teoritis, setiap proses pembelajaran yang dilakukan mesti memperhatikan aspek kognitif, apektif, dan psikomotor peserta didik.

Namun kenyataannya, ranah kognitif selalu mendapat porsi yang lebih besar dibandingkan dengan ranah yang lain. Akibatnya, peserta didik hanya memiliki kompetensi “tahu” (knowledge), tetapi tidak berdampak kepada sikap dan perbuatannya.

Orientasi pendidikan terhadap kognisi yang tidak seimbang ini juga dapat dilihat dari kebijakan Ujian Nasional yang banyak menimbulkan korban. Meskipun telah ditetapkan penentu kelulusan siswa ada empat kriteria (berakhlak mulia, tuntas seluruh program semester, lulus ujian sekolah, dan lulus UN), akan tetapi dalam kenyataannya hasil UN menjadi penghalang banyaknya siswa yang tidak lulus.
Sistem UN yang menyamakan sekolah elit berfasilitas mewah, memiliki guru yang professional, mendapat pembinaan berkelanjutan, dengan sekolah marginal/pinggiran yang terisolir, jumlah guru yang memprihatinkan dan nyaris tidak tersentuh dengan pembinaan, sesungguhnya telah mengusik rasa keadilan.

Akibatnya, ada yang nekat menggadaikan idealisme dengan melakukan kecurangan. Parahnya lagi, kecurangan itu justru diorganisir oleh oknum guru demi memperjuangkan nama baik sekolah atau pimpinan semata. Semua seakan menutup mata terhadap persoalan yang setiap tahun menjadi berita media, tapi hilang begitu saja.

Praktik seperti ini pasti berdampak besar di kemudian hari, berbekas pada kepribadian anak didik untuk berlaku curang dan menghalalkan segala cara demi mencapai keinginannya. Seakan mereka di ajarkan, “jangan berlaku curang, kecuali dalam keadaan terpaksa”.

Kedua, pendidikan yang masih bercorak sekuler-materialistik. Sekularisme pendidikan tampak dari ketidakseimbangan antara kompetensi setiap mata pelajaran yang ditawarkan dengan sikap keberagamaan sesuai dengan keyakinannya. Meskipun setiap sekolah memiliki visi dan misi yang bercorak religius, seperti adanya kata-kata iman dan taqwa (Imtaq), akan tetapi program dan kegiatan Imtaq di sekolah tersebut seringkali tidak kongkrit sehingga Imtaq hanya sekedar cover atau polesan semata.

Begitu pula tanggungjawab guru terhadap sikap keberagamaan siswa, kerapkali diserahkan kepada guru agama an sich. Padahal setiap ilmu yang diajarkan sarat dengan nuansa ukhrawi sehingga ilmu yang diperoleh peserta didik sejatinya mendekatkan dirinya kepada Sang Khaliq.

Akibat dari sekulerisme pendidikan akan menimbulkan pula sikap materialisme yang berlebihan. Motivasi peserta didik untuk menuntut ilmu lebih didominasi oleh materi sehingga ketika mereka terjun ke dunia kerja, materi pun menjadi tujuan utama. Nilai-nilai kemanusiaan pun dikalahkan oleh materi, termasuk nilai-nilai agama. Korupsi, kolusi, nepotisme, dan bentuk manipulasi lainnya tentu menjadi pilihan.

Oleh karena itu, pendidikan yang diterapkan telah membelenggu hakikat manusia itu sendiri. Sebab manusia adalah makhluk yang memiliki potensi ruhaniyah di samping potensi aqliyah dan jasmaniyah.

Ketika pendidikan yang dikembangkan lebih berorientasi kepada kognitif (aqliyah) maka dimensi ruhaniyahnya akan terbelenggu. Begitu pula dimensi fitrah keberagamaannya telah digeser oleh paham materialisme dan sekulerisme yang dianutnya.

Menyikapi persoalan tersebut, dituntut keberanian bangsa ini untuk melepas rantai-rantai yang membelenggu kebebasan manusia itu sendiri sehingga memiliki kecerdasan yang sesungguhnya. Pelaksanaan pendidikan mesti didesain sedemikian rupa untuk memerdekakan pendidikan dari rantai-rantai yang membelenggunya.

Dalam hal ini ada beberapa hal yang patut direkomendasikan. Pertama, pertegas kembali orientasi pendidikan nasional dengan landasan filosofis yang utuh tentang hakikat manusia. Artinya, manusia yang menjadi subjek sekaligus objek pendidikan, mesti dipandang secara utuh, bukan sekedar aspek akalnya, tetapi ia juga memiliki dimensi ruhaniyah yang sangat menentukan perilakunya dalam menggunakan ilmu yang dimiliki. Tegasnya, pendidikan mesti melahirkan kualitas insan yang memiliki iman, ilmu, dan amal secara integral dan holistik.

Kedua, mendidik dengan hati (qalbiyah approach). Para pelaku pendidikan harus melaksanakan tugasnya dengan melibatkan dan mengaktifkan potensi qalbiyah (hati). Seorang pendidik, misalnya menerapkan pendekatan qalbiyah untuk menyentuh hati peserta didik sehingga ilmu yang diajarkan tetap sejalan dengan hati nuraninya yang sarat dengan nilai-nilai insaniyyah (kemanusiaan) dan ilhahiyyah (ketuhanan).

Ketiga, menerapkan pendidikan berbasis tauhid (nondikotomik). Paradigma ilmu yang dikembangkan, baik di sekolah maupun perguruan tinggi, mesti dikembangkan dengan basis tauhid. Maksudnya, semua ilmu mesti diyakini berasal dari Tuhan Yang Maha Esa, Allah SWT. Dengan begitu, setiap ilmu yang dikuasai oleh peserta didik akan mengantarkannya kepada kedekatan (taqarrub) kepada-Nya. Dalam hal ini, semua guru mesti memiliki rasa tanggungjawab mendidik sikap keberagamaan peserta didik sesuai dengan keyakinannya masing-masing.

Keempat, menerapkan pelaksanaan pendidikan dengan prinsip keadilan. Adil memang tidak harus sama rata, akan tetapi proporsional dan profesional. Pendidikan bukanlah milik kaum ningrat atau yang kaya dan ber-IQ tinggi saja, akan tetapi kaum miskin pun memperoleh hak yang sama. Konsekuensinya, guru-guru di sekolah ‘pinggiran’ mesti mendapat perhatian dan pembinaan yang lebih dibandingkan sekolah-sekolah yang elit.

Dengan begitu sekolah bukanlah memintarkan orang-orang yang sudah pintar lagi hidup mewah, akan tetapi mencerdasan orang-orang yang bodoh, miskin menjadi sejahtera, jahat menjadi baik, hina menjadi mulia, terbelakang menjadi maju dan berperadaban.

Kelima, pemerintah harus menyerahkan pengelolaan pendidikan kepada yang ahlinya; berjiwa visioner, punya idealisme, paham dan bepengalaman tentang pendidikan, antikorupsi, antikecurangan, dan berorientasi pada pendidikan yang mencerdaskan. Jika ingin memajukan pendidikan yang mencerdaskan, penguasa sejatinya tidak melakukan “pendekatan politik” dalam pengelolaan pendidikan.

Pendekatan politik yang dimaksud adalah menjadikan jabatan struktural dalam pendidikan sebagai jabatan politik. Tidak sedikit kasus yang menunjukkan penguasa bongkar-pasang kepala dinas hingga kepala sekolah berdasarkan kepentingan politik; pribadi atau golongan sang penguasa. Bahkan ada pula sekolah yang dalam dua tahun dipimpin oleh 2-4 kepala sekolah.

Bisa saja pengelolaan pendidikan dilakukan dengan pendekatan politik, tapi mengarahkan pendidikan kepada tujuan yang ideal, bukan justru menjadikannya sebagai alat kekuasaan. Ketika pendidikan diperlakukan sebagai alat kekuasaan, maka bangsa ini akan tetap terpuruk dan terbelakang. Sebab, tak satu pun bangsa yang maju di dunia tanpa pendidikan yang berkualitas.

Dengan upaya seperti ini diharapkan kita mampu membenahi system pendidikan nasional dalam mencerdaskan dan memerdekakan manusia dari belenggu nafsu keserakahan, kebodohan, kemiskinan, dan kemunafikan. Peringatan Hari Pendidikan Nasional di tahun 2012 ini sejatinya menjadi renungan bagi kita untuk mengaca diri, berbenah dan meraih prestasi. Semoga saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar